get app
inews
Aa Text
Read Next : MIM PK Tegalampel Didampingi UMS Kembangkan Branding dan Promosi Sekolah

Momentum Hari Buruh, Pakar Ekonomi UMS Soroti Persoalan Ini

Kamis, 01 Mei 2025 | 10:27 WIB
header img
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Dr. Jati Waskito, S.E., M.Si. Foto: Ist.

SOLO, iNewsSleman.id - Peringatan Hari Buruh menjadi suatu momentum untuk mengingat kembali perjuangan atas hak dan kewajiban yang dikehendaki para buruh. Hari Buruh diperingati setiap 1 Mei di seluruh dunia. 

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Jati Waskito, S.E., M.Si., menyatakan bahwa peringatan Hari Buruh juga menjadi kiat untuk mengevaluasi hal yang terjadi selama satu tahun ini. 

“Ada nggak kejadian-kejadian khusus yang sampai sekarang belum terselesaikan. Nah itu akan menjadi satu momen yang sangat bagus untuk mengingatkan kembali kepada orang-orang yang memiliki wewenang yang seharusnya menyelesaikan,” kata Jati Waskito melalui siaran pers Humas UMS yang dikutip Kamis (1/5/2025). 

Hari Buruh juga sering disebut dengan Mayday atau May Day. Penyebutan Mayday juga sama dengan istilah yang digunakan pada situasi darurat yang mengancam jiwa dan membutuhkan bantuan segera. Apabila disamakan artinya, peringatan Hari Buruh menjadi hari untuk menyatakan situasi darurat juga seperti ungkapan Mayday, Mayday, this is an emergency. 

Jati Waskito melihat bahwa kondisi ekonomi secara global saat ini sedang turun yang jelas sekali mempengaruhi permasalahan buruh. Menurutnya, ekonomi secara global yang sedang turun juga memengaruhi permasalahan buruh, karena semua faktor ekonomi ikut terpengaruhi. Masalah ekonomi ini juga tentu akan menambah angka pengangguran.  

Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) juga tak luput dari penilaiannya. Menurut Jati, regulasi tentang UU Ciptaker akan menjadi isu yang selalu dimunculkan karena UU Ciptaker lebih cenderung ke employer (pemberi pekerjaan) daripada employee (pekerja). 

UU Ciptaker di antaranya berkaitan dengan fleksibilitas waktu kerja, status pekerja, dan upah buruh. Jati menekankan bahwa upah pekerja seharusnya berdasarkan kelayakan hidup. Akan tetapi upah buruh di UU Ciptaker tergantung pada pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan perusahaan itu sendiri. 

“Sehingga tidak ada jaminan kelayakan hidup bagi buruh. Karena dibebaskan bagi para pengusaha untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dari bisnis perusahaan itu sendiri,” katanya.

Guru Besar Ilmu Kepemimpinan Organisasi UMS itu mencontohkan, apabila perusahaan mampunya memberikan gaji sekian, maka akan teken kontrak. Namun apabila calon pekerja keberatan dengan gaji yang diusulkan oleh perusahaan, maka perusahaan akan mencari karyawan lain yang sesuai dengan kemampuan dari pertumbuhan ekonomi perusahaan tadi.  Menurut Jati, ini yang menyebabkan buruh itu bisa menjadi dikalahkan lagi meskipun sudah terdapat ketetapan tentang upah minimum regional. 

Isu lain di dalam konteks pekerja di Indonesia adalah hak-hak buruh yang dikesampingkan sehingga buruh merasa agaknya seperti diperbudak. Jam kerjanya yang dioptimalkan dan dimaksimalkan, beban kerja juga berlebih, sementara upahnya disesuaikan dengan pertumbuhan bisnis perusahaan, bukan pada kelayakan hidupnya. Ini yang menjadikan perasaan seperti diperbudak. 

Dibandingkan dengan negara lain, masyarakat Indonesia merasa upah di Indonesia terlalu rendah dibanding dengan tingkat biaya hidupnya. Di Malaysia, untuk membeli bensin dengan Ron 92 hanya membayar setara dengan Rp7.000/liter. Sedangkan di Indonesia harus merogoh kocek mencapai Rp12.000/liter. Padahal gaji pekerja di Malaysia jauh lebih besar daripada di Indonesia. Ketika ditanya range penilaian atas pemberian upah buruh di Indonesia dari angka 1-10, Jati memberikan nilai di angka 5. 

“Kalau menurut saya ya masih angka 5 mungkin, masih merah sih menurut saya. Kita dinilai (gaji) sangat rendah sekali dibandingkan negara lain. Sangat merah nilainya menurut saya sih dibandingkan dengan yang seharusnya kita terima,” kata dia. 

Menyoal tentang buruh, Jati Waskito menilai perlu ada perbaikan baik dari regulator (pemerintah) ataupun perusahaan. Namun penting bagi pembuat peraturan agar peraturannya dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Dia juga menyayangkan bila terjadi pungutan liar (pungli) dari tingkat bawah hingga atas bahkan organisasi masyarakat juga ikut melakukan pungli. 

Jati Waskito juga menyarankan kepada pemerintah untuk meninjau kembali secara periodik, penetapan upah minimum provinsi atau upah minimum regional apakah sudah sesuai atau cocok dengan keadaan pada waktu itu.
 

Editor : Ary Wahyu Wibowo

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut