Kajian Tarjih UMS Bedah "Seni dalam Perspektif Muhammadiyah": Antara Fitrah dan Batasan Syariat

SOLO, iNewsSleman.id - Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar Kajian Tarjih secara daring melalui Zoom Meeting, Selasa (17/6/2025). Kajian pada kesmapatan kali ini mengangkat tema “Seni dalam Perspektif Muhammadiyah”, merujuk pada hasil Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-23 yang dilaksanakan di Banda Aceh pada tahun 1995.
Narasumber utama dalam kajian ini adalah Yayuli, S.Ag., M.P.I., yang memaparkan prinsip-prinsip seni dalam pandangan Islam sebagaimana dirumuskan oleh Muhammadiyah. Dalam paparannya, Yayuli menjelaskan bahwa seni dipandang sebagai bagian dari fitrah manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah. Fitrah tersebut mengandung unsur keindahan yang tidak boleh diabaikan, melainkan harus dipelihara sesuai dengan ketentuan syariat.
“Seni adalah potensi dasar manusia yang mencerminkan keindahan, dan karena itu ia bersifat mubah selama tidak menimbulkan mudarat,” ujar Yayuli yang juga sebagai Kabid Pengalaman AIK dan Kaderisasi Pondok Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS.
Dua diktum penting yang lahir dari Munas Tarjih ke-23 Banda Aceh menjadi dasar pandangan Muhammadiyah terhadap seni. Pertama, seni merupakan fitrah manusia yang harus dijaga. Kedua, menciptakan dan menikmati seni diperbolehkan selama tidak menyebabkan kerusakan (fasad), bahaya (dharar), atau menjauhkan dari Allah (ba’id ‘anillah).
Pandangan tersebut, lanjut Yayuli, kemudian ditegaskan kembali dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta pada tahun 2000, yang menetapkan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM).
Dalam dokumen itu disebutkan bahwa seni dan budaya dapat menjadi media dakwah dan sarana membangun peradaban yang berkeadaban.
“Muhammadiyah juga mendorong pengembangan sastra Islam sebagai bagian dari strategi kebudayaan yang bernilai tauhid. Seni dipandang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, melainkan menjadi wujud nyata dari kesadaran terhadap sifat-sifat Allah yang Mahabaik, Mahabenar, dan Mahaindah,” kata dosen UMS itu.
Untuk memperkuat strategi kebudayaan, Muhammadiyah menyelenggarakan Halaqah Tarjih pada 2–4 November 2001 di Solo. Halaqah ini menghasilkan dua pendekatan strategis, yakni strategi pro-eksistensi dan strategi ko-eksistensi dalam pengembangan seni tradisi yang selaras dengan nilai-nilai Islam.
Yayuli juga menyinggung soal hukum bentuk-bentuk seni seperti seni patung, lukisan, dan relief. Ia menekankan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ditemukan larangan eksplisit atas bentuk-bentuk seni tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam kisah Nabi Sulaiman dalam Surat Saba’ ayat 12–13 yang menggambarkan adanya patung-patung dalam istananya.
“Namun, seni tetap harus berada dalam koridor syariat. Ia tidak boleh melahirkan kesombongan, kefasikan, atau menjadi pengganti zikir kepada Allah,” tegasnya.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam dan panduan yang jelas untuk menilai berbagai ekspresi seni dalam kehidupan modern.
Kajian Tarjih ini juga menyinggung praktik seni dalam kegiatan internal kampus, seperti seni tari yang ditampilkan pada pelantikan pimpinan universitas.
Menurut Yayuli, diperlukan rambu-rambu yang sesuai agar pertunjukan seni tetap mencerminkan nilai-nilai Islam yang diajarkan Muhammadiyah. Kajian ini menjadi bagian dari upaya UMS dalam membangun kesadaran budaya Islami di lingkungan akademik.
Editor : Ary Wahyu Wibowo