BANTUL, iNewsSleman.id - Sebagai bentuk meningkatkan semangat nasionalisme dalam menghadapi penjajah, Yayasan Kajian Cita Bangsa (YKCB) mengadakan acara tabur bunga di makam Somenggalan Kemusuk dan seminar nasional di Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Selasa pagi (28/2/2023).
Acara itu juga digelar memperingati 74 Tahun Pembantaian di Kemusuk Somenggalan, yang menyebabkan 202 penduduk Kemusuk dan sekitarnya gugur dibantai oleh para tentara Belanda pada 7 dan 8 Januari 1949 lalu.
Sedangkan Seminar yang mengangkat tema “Memaknai Peristiwa Kemusuk-Somenggalan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949” ini mengundang berbagai pakar sejarah dari berbagai Universitas untuk mengupas tuntas peristiwa tersebut. Di antaranya Prof. Dr. Djoko Suryo (Guru Besar Sejarah UGM), Prof. Dr. Susanto Zuhdi (guru Besar Sejarah UI), Dr. Kolonel Kusuma (Dosen Universitas Pertahanan Jakarta), Dr. Sumardiansyah Halim Perdana Kusumah (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), dan akan dimoderatori Dr. Stepi Anriani (Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara).
Acara ini diikuti oleh para pelajar, mahasiswa, para tokoh lokal maupun nasional, guru sejarah, sivitas akademika, serta berbagai elemen masyarakat luas.
Rangkaian acara ini memang dimaksudkan untuk merawat ingatan seluruh Bangsa Indonesia atas kekejaman genosida yang telah dilakukan oleh tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II di Indonesia saat itu.
Sebagaimana diceritakan almarhum Probo Sutejo dalam buku Biografi Novelistiknya yang berjudul “Saya dan Mas Harto”, pada sekitar awal Januari 1949, setiap hari, pasukan Belanda menginterogasi semua orang di Kemusuk.
Mereka (pasukan Belanda) mencari tahu di mana Letkol. Soeharto yang telah memimpin serangan malam hari terhadap pasukan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul, dan Pengok, pada 29 Desember 1948.
Serangan Letkol Soeharto tersebut cukup memakan banyak korban jiwa dan bangunan di pihak Belanda. Padahal, sebelumnya, pasukan Belanda telah merasa menang ketika menangkap Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri. Serangan tersebut telah menyulut kemarahan seluruh tentara Belanda.
Alih-alih mendapat informasi, ternyata, berbagai interogasi para tentara Belanda tersebut hanya menghasilkan nihil.
Hingga akhirnya, dengan sangat kalap dan membabibuta, para tentara Belanda menembaki semua kaum pria yang terlihat di Desa Kemusuk maupun desa-desa di sekitarnya.
Tiap kali selesai menembak, jasadnya langsung dilempar ke dalam api yang berkobar-kobar. Termasuk di antaranya yang menjadi korban adalah Atmo Pawiro (ayahanda Probosutejo), serta lebih dari 200 korban lain—3 di antaranya adalah bayi dan balita).
Penjajah Belanda membakar semua rumah dan tempat penyimpanan jerami. Saat itu, Kemusuk yang damai telah berubah menjadi neraka mengerikan yang dipenuhi letusan senjata.
Desa Kemusuk seketika berubah menjadi ladang pembantaian (Killing Field). Genosida ini bisa dikategorikan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang cukup berat.
Peristiwa mengerikan ini menjadi catatan sejarah kelam bagi Bangsa Indonesia dan perlu selalu diseminarkan setiap tahun bersama berbagai pakar sejarah, guru sejarah, para pelajar dan mahasiswa, serta seluruh elemen Bangsa Indonesia.
"Melalui acara ini diharapkan, dengan mengenang peristiwa Pembantaian ini sebelum adanya Serangan Umum 1 Maret 1949, bisa menggugah kepedulian dan dapat menjadi ruh bagi generasi penerus bangsa agar memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme dalam mengisi cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945," ujar Ketua Yayasan Kajian Cita Bangsa (YKCB),Mayjend TNI (Purn.) Lukman R Boer dalam acara itu, Selasa Pagi (28/2/2023).
Sebuah Patriotisme dan pengorbanan yang sangat besar ini bisa menjadi teladan bersama hingga kapan pun. Sebuah teladan besar dari kisah seorang patriot yang telah melakukan 4 kali serangan malam hari (29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, 4 Februari 1949) dan satu serangan siang hari yang membelalakkan mata dunia (1 Maret 1949) oleh seorang putra Kemusuk yang menjadi Komandan Wehrkreise III bernama Letnan Kolonel Soeharto.
Rangkaian serangan itu telah menjadi konsekuensi kesedihan mendalam Letkol. Soeharto atas 202 korban warga Kemusuk dan sekitarnya, khususnya keluarganya sendiri.
Editor : Bayu Arsita