YOGYAKARTA, iNewsSleman.id - Selain penculikan dan pembunuhan para Jenderal dan Perwira di Jakarta, Peristiwa G30S juga terjadi di Jogja. Ada 2 Perwira TNI AD yang menjadi korban peristiwa tersebut di DI Yogyakarta.
Untuk memperingati kejadian itu, dan sebagai bentuk nyata dalam upaya meluruskan sejarah, maka diadakanlah Diskusi Sejarah dengan Tema 'Membedah Peristiwa G30S/ PKI di Yogyakarta', di Markas Komando Batalyon Infanteri Mekanik 403, Rabu (11/10/2023).
Ket Foto: Danyonmek 403 Letkol Inf Zulkifli Memberi Sambutan
Untuk memperkuat bahan kajian diskusi itu, turut hadir Komandan Batalyon atau Danyon Yonmek 403 Letkol Inf Zulkifli, Wartawan dan Penulis Buku 'Menumpas G30S/ PKI 1-4 Oktober 1965', Noor Johan Nuh.
Acara itu juga dihadiri oleh Penulis Buku PKI Dalang dan Pelaku G30S/ PKI, Muhammad Thowaf Zuharon, Kurator Museum Sandi, Asnan Arifin.
Selain itu, hadir juga veteran dan para pelaku sejarah G30S di Yogyakarta, hadir juga Putra Sugiono (salah satu Korban G30S di Jogja) dan Cucu Brigjen Katamso (korban G30S di Jogja).
Untuk memperkuat kajian secara akademis dan sebagai upaya meluruskan cerita sejarah, hadir juga Kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran atau MGMP Sejarah Kabupaten Sleman.
"Melalui acara ini, kita ajak ngumpul semua orang yang terkait yang memiliki data, bahan kajian dan pemikiran untuk duduk bersama meluruskan cerita sejarah mengenai Peristiwa G30S di Yogyakarta," ujar Ketua Panitia sekaligus Moderator acara, Dra. Chatarina Ety, SH, M.Pd.
Ia menyatakan, acara ini sudah memiliki kualitas yang bagus untuk menjadi dasar sebuah penelitian yang lebih mendalam lagi, untuk kemudian penelitian itu menjadi sebuah buku atau sebuah kesepahaman bersama mengenai cerita sebenarnya tentang Peristiwa G30S di Yogyakarta.
Dengan dasar sejarah yang lengkap dan kuat, diharapkan akan menjadi bahan pembelajaran dan pendidikan yang layak didapatkan oleh anak didik di sekolah tanpa ada muatan politis sedikitpun untuk mengaburkan cerita sejarah yang sebenarnya.
"Agar anak didik nanti lebih memahami cerita sejarah yang sebenarnya tanpa ada muatan politis. Masa depan mereka nantinya akan menjadi pemimpin bangsa dan penjaga tanah air, mereka wajib tahu dan harus memahami tentang bahaya faham Komunis itu," tambahnya.
Salah satu pelaku sejarah, Tukimin menyatakan jika saat G30S di Yogyakarta, warga tidak bisa bebas keluar dari rumah.
"Ada banyak lapisan pemeriksaan di jalan, yang memeriksa jika warga keluar itu siapa dan dalam rangka apa. Harus ada semacam surat jalan dan identitas yang jelas tentang itu," ujarnya.
Ket Foto: Pelaku Sejarah G30S di Yogyakarta
Sementara mantan Tentara Keamanan Rakyat atau TKR, Trisnosuwito, ia menyatakan jika saat G30S tahun 1965 di Yogyakarta, ia saat itu bekerja di RS Panti Rapih.
Saat itu pengawasan dari militer (entah militer nasionalis atau militer 'kiri') sangatlah ketat.
"Dulu disini (Mako Yonmek 403 saat ini), namanya dulu adalah Bataliyon L saat sebelum peristiwa G30S, sesudah itu diganti menjadi Batalyon 451, dan kemudian diganti menjadi 403 baru keadaan menjadi aman," ujarnya.
Ia juga menyatakan jika karena keadaan sangat genting saat itu, semua warga sipil oleh perangkat kampung atau sesepuh di kampung, diminta untuk untuk tidur dilantai saat malam hari.
"Tidak boleh tidur di amben (papan kayu tempat tidur saat jaman dahulu), atau di kursi atau di meja. Tidur harus di lantai walau hanya alas bambu atau karung bekas," tambahnya.
Sementara Asnan dari Museum Sandi bercerita mengenai Tim Dokter Forensik yang berjumlah 7 orang yang melakukan otopsi terhadap Jenazah para Pahlawan Revolusi di Jakarta.
Ia menyatakan jika Musium Sandi hingga kini belum menerima arsip asli hasil otopsi jenazah Pahlawan Revolusi.
"Kami memahami dan menghormati kode etik serta sumpah kedokteran. Aturan saat itu memang jika hasil otopsi hanya bisa diberikan ke 2 orang. Pertama pemberi perintah (saat itu perintah diberikan otopsi diberikan oleh Letjen Suharto), dan orang yang ke 2 adalah kepada orang yang diperintahkan oleh pemberi perintah," ujarnya.
Sebagai informasi, Peristiwa G30S di Yogyakarta saat itu terjadi saat Brigjen Katamso Darmokusumo yang saat itu menjabat sebagai Komandan Korem atau Danrem 072 Pamungkas menjadi salah satu korban dalam Tragedi G30S Jogja.
Sesaat setelah Letkol Untung mendeklarasikan Dewan Revolusi di Jakarta, Katamso yang saat itu masih berpangkat kolonel belum mengambil sikap karena belum mendapatkan kepastian kabar dari pusat.
Kabar deklarasi Dewan Revolusi di Jakarta itu datang bersamaan dengan isu pembentukan Dewan Revolusi di Jawa Tengah. Ia pun menggelar rapat dan memutuskan untuk mengirim beberapa pasukan ke Semarang, sementara ia menghadiri rapat dengan Pangdam Diponegoro, yang diadakan oleh Brigjen Suryosumpeno, di Magelang pada saat itu juga.
Sepulangnya dari Magelang, upaya pembunuhan terhadap Katamso mulai tercium. Mengutip buku Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya (terbit tahun 2000) karya Sri Widyastuti dan Syamsul Arifin, rencana pemberontakan militer yang terafiliasi dengan Dewan Revolusi di Yogyakarta ternyata dikoordinasi oleh bawahan Katamso, yakni Mayor Mulyono.
Editor : Bayu Arsita