“Kami percaya bahwa perdamaian hanya dapat terwujud dengan memberdayakan komunitas melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Resolusi konflik tanpa kekerasan adalah kunci untuk mengakhiri siklus kekerasan yang terus berulang,” katanya.
Dalam rangkaian program ini, Muhammadiyah juga merancang inisiatif pendirian Museum Palestina sebagai bentuk komitmen untuk mendokumentasikan sejarah dan perjuangan rakyat Palestina. Nama museum ini masih dalam tahap diskusi, dengan beberapa opsi seperti Museum Nakba Palestina atau Museum Genosida Palestina.
“Kami berharap program ini dapat menjadi langkah awal yang berkelanjutan. Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil ingin terus mendukung Palestina, tidak hanya melalui bantuan kemanusiaan tetapi juga dengan memperkuat kapasitas generasi muda Palestina untuk membangun masa depan yang lebih baik,” ungkap Yayah.
Program ini, diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi organisasi lain untuk mendukung perdamaian di Palestina secara inovatif dan berkelanjutan.
Wakil Rektor V UMS Prof. Supriyono, Ph.D mengatakan, dalam kerangka membantu mereka di bidang pendidikan, PP Muhammadiyah melalui LazisMu telah membuka beasiswa bagi anak-anak dari Palestina, utamanya yang berasal dari Gaza. Hanya saja hal itu tidak mudah karena keluar dari Gaza juga tidak mudah.
Dia mencontohkan, remaja di Gaza biasanya ingin mengambil jurusan kesehatan. Namun Bahasa menjadi kendala, utamanya yang ingin mengambil kesehatan, salah satunya kedokteran.
“Kami punya pengalaman kurang baik, mereka datang sudah dilatih Bahasa Indonesia setahun tetapi ternyata kurang dan akhirnya gagal,” kata Supriyono.
Dikatakannya, dulu UMS banyak menerima dari Palestina namun yang berdomisili di Yordania. Pihaknya ingin menerima mahasiswa yang benar-benar asli dari Gaza.
“Tapi kendala itu tadi, sulit untuk keluar (Gaza),” pungkasnya.
Editor : Ary Wahyu Wibowo