Gejala Skizofrenia, Psikolog UMS Tegaskan Beda dengan Stres Biasa

SOLO, iNewsSleman.id - Gangguan skizofrenia kerap disalahpahami sebagai bentuk stres berat atau kecemasan yang ekstrem. Namun, menurut dosen Psikologi Setiyo Purwanto, S.Psi., M.Si., Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), mengungkapkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan serius yang berbeda secara mendasar dari stres biasa.
“Kalau stres biasa, orang masih mampu mengendalikan perilaku dan pikirannya, meskipun kadang overthinking,” jelasnya.
Sementara pada skizofrenia, sudah terjadi kekacauan pikiran. Seseorang tidak mampu membedakan antara kenyataan dan imajinasi,” ujar Setiyo Purwanto melalui keterangan tertulis, Mingggu (25/5/2025).
Menurutnya, gejala umum skizofrenia meliputi halusinasi pendengaran dan penglihatan, delusi atau waham, hingga kecurigaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar.
“Ada yang mengaku jadi nabi, atau menganggap dirinya bukan dirinya sendiri. Itu delusi yang tidak bisa dikoreksi,” tambahnya.
Setiyo menjelaskan, skizofrenia tidak serta-merta muncul saat dewasa, namun merupakan akumulasi dari berbagai faktor sejak kecil, seperti genetik, pola asuh, dan pengalaman hidup. Lingkungan kampus dengan tekanan tugas, pergaulan, atau konflik sosial bisa menjadi pemicu munculnya gangguan ini.
“Mahasiswa bisa menunjukkan gejala seperti bicara kacau, menarik diri dari lingkungan, atau tampak sering melamun. Hal-hal seperti putus cinta atau skripsi ditolak bisa jadi pemicu utama,” ujarnya.
Peran media sosial pun disebut turut memengaruhi persepsi dan kondisi psikis individu.
Banyak mahasiswa cenderung melakukan self-diagnosis berdasarkan konten di TikTok atau Instagram, dan tanpa sadar melabeli diri sendiri mengalami gangguan tertentu.
“Self-diagnosis boleh saja, tapi harus dikonsultasikan ke profesional. Kalau tidak, justru memperparah keadaan karena mereka merasa cocok-cocokan dengan apa yang dilihat di media,” tegasnya.
Masih banyak stigma di masyarakat yang mengaitkan gangguan jiwa dengan lemahnya iman atau kurangnya ketakwaan.
“Padahal skizofrenia itu seperti penyakit fisik. Ada gangguan neurotransmitter di otak, dan harus ditangani secara medis,” tegasnya.
Ia menambahkan, langkah awal penanganan harus dimulai dari psikolog, bukan langsung ke psikiater.
“Psikolog akan melakukan asesmen awal dan memberi intervensi. Kalau perlu obat, baru dirujuk ke psikiater,” jelasnya.
UMS sendiri telah menyediakan berbagai layanan kesehatan mental seperti Student Mental Health & Wellbeing Support (SMHWS), Biro Konsultasi dan Pemeriksaan Psikologis (BKPP), serta Muhammadiyah Medical Center (MMC). Fasilitas ini dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk mencegah gangguan mental sejak dini.
“Stres sedikit jangan dipendam. Ceritakan. Sharing itu membuat lebih lega dan menjaga proses belajar tetap optimal,” pesan Setiyo.
Dalam momentum Hari Skizofrenia Sedunia yang diperingati pada tanggal 24 Mei ini, ia juga mengajak mahasiswa untuk saling peduli dan peka terhadap teman-teman yang menunjukkan tanda-tanda gangguan mental.
“Dengarkan, beri empati, dan jangan justru menjauhi,” tutupnya.
Editor : Ary Wahyu Wibowo