Sementara, dalam Panitia 9 yang dibentuk atas inisiatif dan sebagai Ketua Bung Karno, komposisi keanggotaanya sudah disusun secara proporsional, dimana golongan Kebangsaan berjumlah 5 orang, Ir. Soekarno (sebagai ketua), Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, dan golongan Islam 4 orang, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Panitia 9 inilah yang menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta adalah naskah rancangan Pembukaan UUD yang di dalamnya memuat sila-sila Pancasila dan di belakang sila Ketuhanan terdapat 7 kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Terjadi konsensus nasional dalam perumusan naskah final UUD oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Bung Karno pada 18 Agustus 1945. Atas peran Mohammad Hatta seperti dalam pengakuannya dalam otobiografinya yang berjudul Memoir Mohammad Hatta. Pada pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta meloby tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Akhirnya 7 kata di belakang sila Ketuhanan tersebut berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada akhirnya sila-sila Pancasila menjadi seperti yang sekarang kita sepakati bersama. Perubahan tersebut terjadi atas kesepakatan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Para alim ulama, tokoh Islam, dan pemimpin-pemimpin Islam yang mendirikan bangsa Indonesia menyetujui perubahan dari tujuh kata itu sebagai ijtihad dan persetujuan para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya demi kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Dengan disepakatinya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, maka negara Indonesia adalah bukan negara agama (atau negara satu agama) tetapi juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Pancasila adalah titik temu, jembatan berbagai aliran politik untuk menjadi negara bangsa. Upaya-upaya merong-rong ideologi Pancasila yang hendak mengganti dengan ideologi lain hendaknya membawa kita untuk merefleksikan sejarah kegagalan bangsa-bangsa lain mempertahankan negaranya," imbuh Riyanta.
Editor : Bayu Arsita