BANTUL, iNewsSleman.id - Upacara pagi pada 28 Februari 2023 lalu di Makam Somenggalan Kemusuk itu dihadiri ratusan peserta. Bupati Bantul Muslih Abdul Halim memimpin upacara peringatan itu, sekaligus mengawali menaburkan bunga penghormatan atas ratusan penduduk sipil warga Kemusuk dan sekitarnya yang menjadi korban serangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda pada 7 dan 8 Januari 1949 lalu.
Menurut catatan sejarah, pada 74 tahun lalu, para serdadu Belanda melakukan tindakan penyerangan dengan kekuatan militer yang menyebabkan korban dari kalangan lelaki, pemuda, anak lelaki di bawah umur, bahkan ada balita yang turut menjadi korban.
Penjajah Belanda melakukan serangan pada 29 Desember 1948. Hal itu dilakukan karena tidak bisa menemukan buronan yang mereka cari, yaitu Letkol Soeharto, yang merupakan pria asal Kemusuk.
Dalam catatan sejarah yang dibuat almarhum Probosutejo (saksi langsung peristiwa tersebut) yang tertuang dalam buku “Saya dan Mas Harto”, para lelaki yang dibunuh langsung dibuang secara keji ke kobaran api rumah-rumah warga yang sudah dibakar terlebih dahulu.
Kini, ratusan Epitaf (catatan pada nisan) di Makam Somenggalan Kemusuk itu menjadi tanda jatuhnya ratusan korban karena serangan militer pihak Belanda.
Ratusan Epitaf itu yang menjadi latar belakang Seminar Kebangsaan 'Memaknai Peristiwa Kemusuk-Somenggalan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949' yang dilaksanakan pada Selasa (28 Februari 2023) lalu di Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto.
Kisah sejarah itu lebih dipertajam Noor Johan Nuh (penulis buku-buku tentang Pak Harto), yang memberikan pengantar diskusi dengan kalimat yang tegas dan terasa kesedihan penderitaan yang dialami warga saat kejadian.
Menurutnya, Warga Kemusuk yang gugur dan dilanggar Hak Asasi hidupnya itu, menjadi korban kejahatan perang, tapi belum ada yang peduli untuk menjadikan mereka sebagai pahlawan.
"Menurut David Jenkins, penulis buku 'Soeharto And His Generals', Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah pertempuran dengan strategi militer terbesar dalam perang kemerdekaan Indonesia," ujar Noor Johan Nuh saat membawakan materi, Selasa (28/2/2023) lalu.
Ia juga mengatakan, menurut data pendukung sebagai dasar pembuatan buku, Letkol Soeharto memang selamat dari sergapan tentara Belanda saat itu.
Tapi tragisnya, Letkol Soeharto pertempuran yang memimpin empat kali serangan malam hari sebelum Maret dan satu kali serangan siang hari pada 1 Maret 1949, justru namanya digugurkan secara sengaja dalam Keputusan Presiden No. 02 Tahun 2022,” tambahnya.
Seminar itu dihadiri berbagai pakar sejarah dari berbagai Universitas untuk mengupas tuntas peristiwa tersebut, seperti Prof. Dr. Djoko Suryo (Guru Besar Sejarah UGM), Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Guru Besar Sejarah UI), Dr. Kolonel Kusuma (Dosen Universitas Pertahanan Jakarta), Dr. Sumardiansyah Halim Perdana Kusumah (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), dan akan dimoderatori Dr. Stepi Anriani (Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara).
Acara ini juga diikuti oleh para pelajar, mahasiswa, para tokoh lokal maupun nasional, guru sejarah, civitas akademika, serta berbagai elemen masyarakat luas.
Dr. Stepi Anriani yang menjadi moderator acara itu memberikan kesimpulan yang menyatakan jika dengan memperingati Peristiwa Kemusuk ini, bisa meningkatkan rasa nasionalisme, kedaulatan, dan nilai kebangsaan kita dibanding bangsa lain yang tak pernah berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Ia juga menambahkan jika sejarah perjuangan lokal di Kemusuk telah mempengaruhi situasi sejarah nasional.
Menurut rangkaian acara seminar itu, saat itu, dalam takdir sejarah yang sama, Letkol Soeharto telah menjadi spirit perjuangan rakyat, sebagaimana spirit rakyat atas kepahlawanan Pangeran Diponegoro.
"Takdir juga yang membuat ibukota Indonesia pindah ke Yogyakarta dan yang menjadi bunga pertempuran atas lima kali serangan kepada Belanda selama masa pendudukan agresi militer II di Yogyakarta adalah Letkol Soeharto," ujar Moderator Seminar, Dr. Stepi Anriani.
Ia juga mengatakan jika sebuah perjuangan yang mencerminkan karakter bangsa ini tak kenal lelah, berani, meski kemudian berdampak pada tindakan pelanggaran HAM berat oleh Belanda saat itu.
“Hal ini merupakan memori kolektif Bangsa Indonesia yang harus terus diwariskan,” imbuhnya.
Berdasarkan catatan Stepi, berdasarkan proses tanya jawab acara seminar dan nilai atau esensi pertanyaan yang diajukan hadirin, para peserta diskusi terlihat semangatnya untuk memperjuangkan pengorbanan rakyat Kemusuk, khususnya Pak Harto dan keluarganya (ayahanda Probosutejo bernama Atmo Pawiro yang menjadi Kepala Desa ikut gugur ditembak oleh serdadu Belanda).
Bahkan, sebagian besar peserta ingin membuat petisi atas para korban Kemusuk dan menjadikan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional. Bahkan, para peserta yang menyatakan tidak terima ketika Presiden membuat Kepres Nomor 02 Tahun 2022 tanpa mencantumkan nama Letkol Soeharto.
“Kepres itu perlu digugat”, ujar salah satu peserta diskusi yang diungkap oleh moderator seminar.
Sementara, Prof Djoko Suryo dari UGM yang menjadi pembicara dalam seminar nasional ini mengatakan, Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah rentetan pertempuran tidak terputus dari serangan-serangan lain.
“Satu stategi yang dikembangkan oleh Letkot Soeharto dan menjadikan kita paham, betapa peranan Soeharto di dalam peristiwa ini sangat penting,” ujar Djoko Suryo.
Ia menambahkan, Soeharto, dalam posisinya sebagai komandan tentara di Yogyakarta saat itu adalah ladang perbedaan klaim. Djoko Suryo menyebut, karena kondisi itulah maka penulisan sejarah dan upaya untuk merawat ingatan kolektif masyarakat menjadi penting.
Sedangkan Prof. Susanto dari Universitas Indonesia yang menjadi pembicara kedua menyatakan, hilangnya nama Letkol Soeharto dari Kepres tidaklah elok.
“Karena saya tahu, naskah akademik yang dibuat pada 2018 oleh Tim Ahli dari UGM menjadi berubah pada 2022 oleh Tim dari Kemendagri. Yang di naskah akademik 2018, Pak Harto masuk. Di naskah akademik tahun 2022, tiba-tiba hilang,” ujarnya.
Susanto mengaku sudah membandingkan halaman demi halaman naskah akademik. Ada sejumlah perbedaan signifikan yang membuat nama Soeharto hilang.
Ia bahkan menilai ada tekanan politik dalam kasus ini.
“Pasti penulis naskah akademik 2022 bukan sejarawan yang mengerti. Sudah ada intervensi politik, sehingga bagi saya Surat Keputusan Presiden itu politis. Kita mungkin bisa menduga dari mana intervensi itu masuk. Masa mau mengangkat yang satu, kemudian yang satu ditenggelamkan dari fakta sejarah. Ada hadits atau entah apa yang mengatakan, janganlah kebencianmu membuatmu berbuat tidak adil,” ujar Susanto.
Lain halnya dengan Kolonel Doktor Kusuma, pembicara ketiga dari Universitas Pertahanan, ia mengatakan jika Soeharto juga diuntungkan karena dirinya lahir dan besar di Yogyakarta.
Ketika perang melawan Belanda berlangsung pasca Agresi II, Soeharto paham betul terkait wilayah-wilayah dalam kawasan perang. Kusuma bahkan menggambarkan bahwa Soeharto tahu semua jalan tikus di kawasan ini.
“Ini adalah takdir sejarah seorang Soeharto yang harus dicatat," ujar Kusuma.
Editor : Bayu Arsita