YOGYAKARTA, iNewsSleman.id - Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia atau YAICI dan Pimpinan Pusat atau PP Aisyiyah menggelar Konferensi Pers Hasil Penelitian Penggunaan Kental Manis pada Masyarakat Marjinal dan Dampaknya Terhadap Status Kesehatan Balita di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), di Lantai 2 Gedung Siti Moenjiyah Universitas Aisyiyah atau Unisa Yogyakarta yang ada di Jalan Siliwangi (Ringroad Barat), Mlangi, Nogotirto, Sleman, DIY.
Acara itu menghadirkan Ketua YAICI Arif Hidayat, Rektor Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta Warsiti, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat selaku Ketua Penelitian, dan Guru Besar Gizi Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Tria Astika EP, M.KM selaku Wakil Ketua Penelitian.
Arif Hidayat menuturkan, hasil temuan YAICI dan Aisyiyah, ternyata masih banyak kental manis diberikan kepada anak dan orang tua sebagai minuman susu pada masyarakat Marjinal, yaitu suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa
juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera dan identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan. Susu baik untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak, namun keliru jika kental manis masih dianggap sebagai susu.
"Kental manis tidak boleh dikonsumsi oleh balita sebagai pengganti minuman susu harian. Kental manis masih banyak dipilih karena murah dan praktis, dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di lingkungan keluarga," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/8/2023).
Selain melakukan survei pengambilan data, YAICI bersama dengan Unisa melakukan sosialisasi dan edukasi dengan responden mengenai kental manis bukan susu.
Yogyakarta dipilih menjadi daerah sasaran penelitian karena termasuk dalam provinsi termiskin dengan angka kemiskinan di 11,49 persen.
Selain itu, Yogyakarta juga menjadi propinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Terendah kedua di Indonesia.
Penelitian itu dilakukan kepada 1000 populasi dan sample yakni pasangan ibu dengan anak di bawah lima tahun (balita) berusia 0-59 bulan di DIY. Penelitian dilakukan dengan pendekatan mix method (kuantitatif survey cepat dan kualitatif wawancara observasi).
Temuan tentang kental manis secara umum yaitu 22,3 persen atau 231 ibu di Yogyakarta masih menganggap kental manis adalah susu.
Mereka ini, 57,3 persen atau 593 ibu mendapatkan informasi dari media televisi/radio/media massa lain.
Menurut Arif, perilaku dan alasan mengonsumsi kental manis ditentukan oleh informasi yang didapatkan, hal ini kemudian mempengaruhi persepsi, lalu menjadi sebuah perilaku.
Dan, temuan fakta kental manis menunjukkan masih ada perilaku salah orang tua yang memberikan kental manis untuk balita.
Dari 55 bayi hanya 2 bayi yang mengonsumsi kental manis kurang dari 1 kali/hari, 40 bayi lainnya konsumsi kental manis lebih dari 1 kali/hari, 13 lainnya tidak bersedia menjawab.
Sebanyak 41 dari 55 anak yang konsumsi kental manis terindikasi dan berpotensi mengalami malnutrisi (kondisi ketika anak tidak mendapatkan asupan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhannya yang berdampak pada kondisi kesehatan anak secara umum dan proses tumbuh kembangnya) seperti gizi buruk, underweight, potensi stunting, dan Obesitas.
13 orang tua bayi dari 17 orang tua bayi mengonsumsi karena menganggap kental manis adalah susu. Mereka berpotensi stunting dan dampak lain seperti diare dan karies.
Arif menyampaikan, meski sudah adanya peraturan yang mengatur tentang peruntukan kental manis, pada faktanya masih banyak masyarakat yang mispersepsi dengan menganggap kental manis adalah susu yang dapat dikonsumsi harian.
"Masih perlu adanya promosi edukasi tentang kental manis bukan susu dan peruntukan kental manis untuk meluruskan persepsi masyarakat yang keliru," ungkapnya.
Media informasi, kata Arif menambahkan, masih menjadi sumber informasi paling berpengaruh dalam pembentukan persepsi. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan dalam hal beriklan bagi produsen.
Selain itu, lanjut Arif, perlu adanya pembatasan konsumsi kental manis berlebih meskipun peruntukannya sudah sesuai dengan aturan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penyakit degeneratif (penyakit tidak menular yang terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh dan penuaan).
Dalam temuannya, angka konsumsi kental manis sebagai susu bagi orang tua ternyata sangat tinggi yaitu sebanyak 278 orang tua atau 27 persen orang tua mengonsumsi kental manis sebagai susu.
"Kental manis bukan susu sehingga konsumsi kental manis sebagai susu bagi orang tua adalah perilaku salah," imbuhnya.
Editor : Bayu Arsita
Artikel Terkait