YOGYAKARTA, iNewsSleman.id - Budi Mulyana (BM), juga dikenal sebagai Papi, atau Koko (54), mengajukan banding. Keluarga besar BM merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Sleman dan opini publik yang beredar yang bersumber dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Opini yang berkembang ini dapat merusak karakter terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi dengan menangani kasus ini secara objektif," kata Kuasa Hukum BM, R. Herkus Wijayadi, SH, dari Kantor Hukum RM Setyohardjo, SH, setelah mengajukan memo banding pada Senin (25/9/2023) di Pengadilan Tinggi Yogya.
Menurutnya, pemberitaan di media yang menyebut terdakwa sebagai predator seks tidak benar. Dia berpendapat bahwa terdakwa hanya melakukan transaksi seks tanpa adanya paksaan. Selain itu, belasan saksi korban yang merupakan anak di bawah umur (ABH) dan siswa SMK/SMA di Yogyakarta datang secara sukarela.
Para saksi korban ABH ini menerima imbalan dari terdakwa. Terlebih lagi, saksi korban mengakui adanya Open BO atau prostitusi online dengan terdakwa. Oleh karena itu, istilah predator seks tidak pantas digunakan untuk menggambarkan BM.
Ditemani oleh tim kuasa hukum lainnya, yaitu Chusnul Chotimah, SH, dan Primananda Rahmat Pamungkas, Herkus menyebutkan bahwa putusan PN Sleman yang menjatuhkan hukuman pidana 16 tahun penjara dengan denda Rp2 Miliar dan tambahan hukuman 6 bulan kurungan, serta restitusi (ganti rugi) kepada dua korban masing-masing sebesar Rp19,3 juta pada Jumat (8/9) lalu terasa sangat berat.
"Putusan tersebut tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa," ujar dia.
Herkus menambahkan bahwa terdakwa mengakui kesalahannya karena melakukan hubungan seksual dengan ABH, tetapi perbuatan tersebut merupakan transaksi yang dilakukan atas kesepakatan bersama. Terdakwa menerima tawaran tersebut tanpa ada pemaksaan, karena saksi korban mau melakukannya berulang kali, dan saat bertemu dengan Terdakwa, saksi korban sudah tidak perawan lagi.
"Jadi, perbuatan yang dilakukan Terdakwa masuk dalam kategori kejahatan tanpa korban (Victimless Crime), sehingga tuntutan maksimal JPU yang mencakup 20 tahun penjara, denda Rp2 miliar, subsider 6 bulan kurungan, dan tambahan hukuman kebiri kimia tidak pantas," tambahnya.
Terdakwa menyatakan rasa bersalah dan siap bertanggung jawab kepada kuasa hukumnya. Terdakwa BM juga tidak keberatan jika dijatuhi hukuman minimal 5 tahun penjara. Terdakwa juga menyatakan bahwa ia peduli terhadap belasan saksi korban, sehingga tidak ingin mereka menderita akibat kasus ini.
Menurutnya, putusan ini terasa berat karena terdakwa merasa bahwa tidak ada pemaksaan yang terjadi. Semua saksi korban yang terlibat dalam prostitusi online seharusnya juga mendapatkan pembinaan. Terdakwa sendiri tidak pernah mengetahui bahwa mereka adalah ABH, karena mereka semua memiliki penampilan dewasa.
Namun, dalam persidangan, belasan saksi korban justru mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab dengan menyalahkan Terdakwa sebagai pelaku utama.
"Para saksi korban saat ini bahkan aktif di platform Tik Tok," kata Herkus, menunjukkan tangkapan layar saksi korban yang sedang berpose cantik di Tik Tok.
Diperkirakan bahwa mereka merasa malu dengan kasus ini yang mengungkapkan bahwa mereka adalah pelaku Open BO. Tambahan lagi, saksi korban yang masih bersekolah di SMK/SMA mungkin khawatir tentang sanksi sekolah atau dampak sosial yang akan ditanggung oleh keluarga mereka. Hakim juga harus mempertimbangkan Pasal 185 ayat (6) huruf d tentang kesaksian anak yang dianggap korban, dan apakah kesaksian mereka dapat dipercaya atau tidak berdasarkan perilaku kesusilaannya.
"Terdakwa memiliki anak perempuan dan takut akan karma, oleh karena itu, ia bersikeras bahwa ia tidak pernah melakukan transaksi Open BO dengan mereka yang masih perawan," ujar Herkus.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait