SOLO, iNewsSleman.id - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah dan DPR segera menyelesaikan pembuatan Undang-Undang (UU) Sandang. UU tersebut diharapkan dapat memproteksi industri tekstil dalam negeri berikut turunannya.
“Kalau papan dan pangan sudah ada Undang-Undangnya, tapi kalau sandang belum. Ini prosesnya sudah dimulai sejak tahun 2019, tapi sampai saat ini berjalan tidak, maju juga tidak,” kata Kompartemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Harrison Silaen saat acara Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produksi Tekstil Surakarta (AK-Tekstil Solo) dengan mitra industri baru, Jumat (9/8/2024).
Pada Mei 2024 lalu, pihaknya telah bertemu dengan staf ahli perancang UU di DPR guna merencanakan pembuatan UU Sandang. Masukan dari API, Apindo telah diberikan, termasuk juga peninjauan lapangan juga sudah dilakukan oleh staf ahli perancang UU dari DPR.
Saat kunjungan lapangan, pihaknya banyak memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan pembuatan UU. Dirinya berharap UU Sandang segera terwujud sehingga menjadi payung hukum. Selama ini, terdapat 20 lembaga/kementerian yang berhubungan dengan industri tekstil.
“Ini membawa ritme, alunan suara masing-masing, sehingga kami yang melaksanakan di lapangan serba bingung, repot mana yang harus dijalankan. Terakhir, kami harus memiliki 42 sertifikat untuk bisa menjalankan industri,” ucapnya.
Dikatakannya, kini industri tekstil dalam kondisi terpuruk. Secara nasional, utilitas produksi tekstil dari hulu sampai pembuatan serat, pembuatan benang, pembuatan kain dan printing saat ini tinggal sekitar 40-45 persen.
Dengan kondisi ini, sudah banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu ada yang masih terselubung di industri-industri. Penyebab industri tekstil terpuruk di antaranya karena pasar domestik digempur oleh impor-impor yang tak terkendali.
Penyebab berikutnya adalah persoalan sumberdaya manusia (SDM). Dulu sebelum krisis ekonomi, ada sekitar 16 perguruan tinggi yang mencetak SDM di bidang industri tekstil. Namun dengan surutnya industri tekstil sejak tahun 1998, banyak perguruan tinggi yang tutup.
“SDM saat ini di industri tekstil ada 3,9 juta di manufacturing. Industri tekstil bukan ecek-ecek, maka SDM harus tetap mendukung karena yang lama telah pensiun. Kita harus mencetak yang baru,” ujarnya.
Penyebab lainnya yang membuat industri tekstil terpuruk adalah mesin mesin produksi yang ketinggalan zaman. Sekitar 80 persen usia mesin produksi telah 20 tahun ke atas. Sementara, investasi sulit dan bank-bank agak alergi meminjamkan uang ke industri tekstil mengingat situasi saat ini.
“Teknologi sekarang sudah canggih, mesin sudah efisien, ekonomi, dan pengoperasiannya sangat mudah,” tuturnya.
Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan mengatakan, industri tekstil pada tahun 2023 masih menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar di Indonesia dengan capaian 14,1 miliar US Dollar. Industri tekstil sampai kini masih menjadi jejaring pengaman sosial karena menyerap tenaga kerja sekitar 4,6 juta jiwa sebagaimana yang terdaftar di asosiasi.
Sedangkan yang tidak terdaftar, mulai dari home industri hingga usaha kecil menengah juga banyak. Jika ditotal, kemungkinan jumlahnya sekitar 7 juta jiwa. Mengingat ada bonus demografi, dan kondisi terkini, industri tekstil semestinya mendapatkan perhatian.
Sebagai sektor kebutuhan primer, hanya industri tekstil yang tidak memiliki badan khusus yang membidangi. Selain itu juga tidak memiliki UU Sandang.
“Kami tidak tahu kenapa dibiarkan seperti itu. Bahkan sudah kami titipkan ke Bapak Presiden juga belum menjadi skala prioritas,” kata Liliek.
Editor : AW Wibowo
Artikel Terkait