SOLO, iNewsSleman.id - Dosen Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Ir. Indrawati, M.Tm ikut bersuara terkait banjir di Jakarta dan Bekasi. Faktor penyebab maupun solusi untuk mengatasi banjir turut dilontarkan.
“Air mengalir itu tidak dapat dibatasi oleh daerah administrasi yang kemudian disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Aliran mengalir dari hulu melewati wilayah-wilayah hingga akhirnya air mengalir ke laut. Wilayah yang dilewati itu akan dipengaruhi oleh kondisi air tersebut,” kata Indrawati, Kamis (6/3/2025).
Dia memberikan permisalan banjir yang bisa terjadi. Meskipun daerah tangkapan air (catchment area) itu di Tawangmangu itu baik-baik saja tidak pernah banjir meskipun rusak, tetapi yang menerima banjir adalah Solo.
Indrawati menyebut terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banjir, di antaranya adalah aspek curah hujan atau iklim, tata guna lahan, dan faktor perilaku manusia. Dari aspek tata guna lahan, apabila run off tinggi maka akan semakin menyebabkan banjir. Sedangkan saat ini telah ada kebijakan Zero Delta Q Policy yaitu kebijakan tata ruang yang mengatur agar tidak ada penambahan debit air ke sistem saluran drainase atau sungai.
Dia menyebut kebijakan ini mensyaratkan bahwa pembangunan di kawasan atas itu tidak boleh membuang air ke badan air umum. Artinya apabila datang air di wilayah tersebut, air juga harus diresapkan di wilayah tersebut, tidak boleh dibuang.
“Hanya saja implementasinya yang kadang-kadang itu masih agak sulit. Sulitnya itu karena sudah banyak keterlanjuran,” tuturnya.
Dosen Arsitektur UMS itu mengibaratkan pembangunan daerah aliran sungai, sedangkan di sungai terdapat bantaran sungai yang tujuan sebenarnya merupakan wadah untuk banjir. Selain bantaran sungai, terdapat pula sempadan sungai yaitu sisi sungai yang bukan wilayah air.
“Permasalahannya di Bekasi, Jakarta, dan kota-kota lainnya itu kan tidak ada, bantaran sudah menjadi pemukiman semua. Jangankan sempadan sungai, bantaran saja sudah tidak ada, sudah jadi pemukiman. Kalau ada air, airnya mau lari ke mana?” ucapnya.
Dari sisi tata ruang, Indrawati menyebut bahwa sempadan sungai sudah ada petanya. Jadi, misal sempadan sungai tidak boleh dibangun rumah, maka seharusnya tidak boleh membangun rumah di lokasi tersebut. Dalam rencana detail tata ruang kota terdapat aturan akan hal yang dilarang atau diperbolehkan membangun untuk suatu peruntukkan yang biasanya dengan kategori diizinkan, terbatas, bersyarat, atau tidak diizinkan sama sekali.
“Tapi realitanya sudah terbangun. Nah pada waktu sudah terbangun kalau kemudian pemerintah itu menjadikan sebagai kewajiban untuk mengembalikan fungsi lahan yang sudah ditetapkan, berarti harus relokasi? Biayanya kan mahal banget,” ujarnya.
Secara keilmuan lingkungan, untuk sungai besar telah ada ketentuan yang mengatur bahwa sempadan sungai baik bertanggul, tidak bertanggul, atau sungai yang berada di tengah pemukiman, diberikan jarak sekian meter dari bibir sungai. Namun, pada kasus budaya lokal yang manusia hidup di atas sungai seperti di Kalimantan, sungai tidak ada batasnya. Di daerah seperti demikian, batas-batas sempadan sungai akan sulit untuk diimplementasikan.
“Kalau di masyarakat perkotaan yang sekarang itu bukan orang air lagi, kehidupan di darat, tapi karena tidak punya rumah atau lahan akhirnya (hidup) di tepi air. Sebetulnya bisa dipindah, tetapi biayanya (social cost) untuk memindah besar sekali,” tambahnya.
Editor : AW Wibowo
Artikel Terkait