SOLO, iNewsSleman.id– Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Sa’ad Ibrahim, M.A., mengingatkan pentingnya memahami peran Muhammadiyah sebagai wasilah (perantara) dalam menjawab teguran Allah sebagaimana termaktub dalam surat Ali ‘Imran.
Hal tersebut disampaikan dalam acara Silaturahmi dan Halalbihalal Keluarga Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Tahun 1446 H / 2025 M, Rabu (9/4/2025) di Auditorium Moh. Djazman Kampus 1 UMS.
"Ini bagian dari kita bermuhammadiyah, untuk menjawab teguran Allah di surat Ali Imran. Kita jadikan Muhammadiyah sebagai wasilah di bumi—kawasilan tinā, wasilah yang menjembatani perjuangan menuju ridha-Nya," tegas Sa’ad Ibrahim.
Sa’ad menyebut bahwa ber-Muhammadiyah bukan sekadar aktivitas organisasi, melainkan bentuk kesungguhan dalam menunaikan jihad besar dalam arti luas: membina umat, menegakkan nilai, dan menjaga amanah. Ia mengingatkan agar Muhammadiyah tidak dijadikan sebagai sarana membesarkan diri, tetapi sebaliknya, menjadikan diri sebagai sarana untuk membesarkan Muhammadiyah.
"Jangan bilang, ‘Kalau tidak ada saya, ini tidak bisa.’ Itu artinya menggunakan Muhammadiyah untuk diri kita. Justru, gunakan diri kita untuk membesarkan Muhammadiyah," tambahnya.
Dalam refleksi sejarah Islam, ia menjabarkan bagaimana awal disyariatkannya puasa dan jihad pada periode Madinah. Puasa Ramadan diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah, dan hanya beberapa hari setelah itu, terjadi Perang Badar. Kemenangan dalam Perang Badar menjadi bukti pertolongan Allah hadir setelah perjuangan dan pengorbanan yang tulus.
"Kaum muslimin hanya 313 orang, menghadapi 1000 lebih pasukan Quraisy. Tapi karena keimanan dan jihad mereka, Allah memberikan kemenangan. Ini pelajaran bahwa pertolongan Allah datang setelah ujian, setelah sabar dan konsisten," jelasnya.
Tak hanya menukik pada sejarah, Sa’ad juga membawa hadirin merenungi realita kekinian. Ia menyebut bahwa keberadaan Muhammadiyah di berbagai pelosok tanah air adalah bentuk nyata pertolongan Allah. Bahkan di daerah minoritas Muslim seperti Sorong atau Kupang, kampus-kampus Muhammadiyah mampu tumbuh dan membentuk karakter mahasiswa yang peduli.
"Saya ke Sorong, ke Unimuda. Mayoritas mahasiswa di sana nonmuslim, tapi mereka dididik: kalau melihat sampah, diambil. Bahkan rektornya sangat memperhatikan hal kecil—kursi di auditorium tidak boleh berbeda warna. Semua ini menunjukkan bagaimana Allah menolong Muhammadiyah melalui orang-orang pilihan," kisahnya.
Ia juga menyampaikan pengalaman simbolik saat peresmian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Di sana, selain peresmian bangunan, juga dilakukan penanaman 100 pohon durian sebagai simbol keberlanjutan. Setiap pohon dinamai dengan tokoh Muhammadiyah, sebagai bentuk dedikasi terhadap perjuangan membangun amal usaha yang berkelanjutan.
"Pohon durian itu sudah besar-besar. Dan hari Sabtu itu, kami tanam secara simbolik. Ini bukan sekadar penanaman, tetapi simbol perjuangan Muhammadiyah yang terus bertumbuh dan berbuah," ujarnya penuh harap.
Menutup ceramahnya, Sa’ad mengingatkan bahwa perjuangan di bulan Ramadan, jihad, puasa, dan haji semuanya memiliki dimensi spiritual dan sosial yang sangat dalam. Muhammadiyah, kata Sa’ad,, telah diberi karunia oleh Allah untuk menjadi perantara bagi umat dalam menunaikan misi kenabian: mencerdaskan, memajukan, dan membebaskan.
"Kita harus selalu bersandar kepada Allah. Dan dengan Muhammadiyah sebagai wasilah, insyaAllah pertolongan itu akan selalu dekat," pungkasnya.
Editor : AW Wibowo
Artikel Terkait