SOLO, iNewsSleman.id – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin masif turut mempengaruhi perilaku masyarakat, termasuk dalam ranah psikologis seperti mencurahkan isi hati atau mencari solusi masalah pribadi melalui ChatGPT. Fenomena ini disoroti Psikolog Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prilya Shanty Andrianie, S.Psi., M.Psi., Psikolog.
Menurutnya, kemajuan teknologi seperti AI adalah hal yang tidak bisa dihindari maupun ditolak. Hal yang bisa dilakukan adalah beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.
“AI ini tidak bisa kita hentikan. Maka yang bisa kita lakukan adalah menyesuaikan diri,” ungkapnya, Kamis (29/5/2025).
Fenomena masyarakat yang ‘curhat’ ke AI, seperti ChatGPT, menurut Prilya adalah hal yang sah-sah saja. Namun, ia mengingatkan bahwa AI tetaplah mesin yang memberikan solusi secara template tanpa mempertimbangkan latar belakang individu.
“AI tidak mempertimbangkan aspek kepribadian, pola asuh, sosial ekonomi, maupun kondisi keluarga dari orang yang curhat. Sementara psikolog atau psikiater memberikan solusi yang holistik sesuai dengan kondisi klien,” jelasnya.
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami masalah perselingkuhan dan bertanya ke AI mungkin hanya akan diberi solusi normatif seperti “putus” atau “pisah”. Padahal nyatanya, banyak aspek yang harus dipertimbangkan seperti kondisi ekonomi, anak, hingga dinamika keluarga.
Lebih lanjut, Prilya menyebutkan masyarakat memang mendapatkan jawaban yang cepat saat bertanya ke AI. Namun, di sisi lain, solusi tersebut bisa menyesatkan jika tidak sesuai dengan konteks personal. Selain itu, interaksi dengan AI juga menghilangkan aspek sosial seperti komunikasi dua arah dan empati yang hanya bisa didapatkan dari interaksi dengan sesama manusia.
“Interaksi manusia dengan psikolog itu penting karena kita butuh didengar dengan empati. Bukan sekadar solusi cepat,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan adanya risiko baru yang muncul dari penggunaan AI dan internet secara berlebihan, salah satunya adalah kecanduan digital. Hal ini dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti problematic internet use dan internet addiction yang berdampak pada turunnya kemampuan bersosialisasi, komunikasi, hingga berpikir kritis.
“Kalau semua hal kita tanya ke internet, lama-lama kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Ini yang berbahaya,” ujarnya.
Terkait fenomena konten psikologi di media sosial, Prilya menyebutkan bahwa meskipun bermanfaat untuk psikoedukasi ke masyarakat, namun masyarakat harus tetap kritis. Komunikasi satu arah bisa membuat orang mencocokkan gejala gangguan mental yang mereka baca di media sosial dengan kondisinya saat ini. Hal ini dapat menyebabkan overthinking, bahkan mendiagnosis diri sendiri secara keliru.
“Kalau merasa terganggu dengan apa yang dibaca di media sosial, lebih baik konsultasi ke profesional agar mendapatkan penelusuran yang menyeluruh,” pesannya.
Sebagai bentuk pengendalian, ia menyarankan masyarakat untuk melakukan detoks digital. Misalnya dengan mengatur waktu interaksi digital dan menggantinya dengan aktivitas sosial di dunia nyata. “Saya sendiri kalau di rumah sudah detox HP. Saya ganti dengan berkumpul dan melakukan aktivitas bersama dengan anak dan suami,” ungkapnya memberi contoh.
Untuk anak-anak muda, Prilya juga mengingatkan pentingnya memiliki life balance, yaitu menyeimbangkan aktivitas digital dan sosial. “Kita bisa mulai dari hal sederhana, misalnya setelah seharian main HP, coba quality time tanpa HP dan lakukan aktivitas bersama keluarga atau teman,” tambahnya.
Menutup penjelasannya, Prilya berpesan bahwa anak muda harus mempersiapkan diri agar tidak kalah oleh kecanggihan AI. “Ada tiga kecerdasan yang tidak bisa dimiliki AI yaitu kecerdasan emosional, spiritual, dan adversitas yaitu kemampuan untuk bangkit kembali ketika gagal dan terpuruk. Ini harus dimiliki anak muda agar tetap eksis di tengah perkembangan teknologi,” tegasnya.
Editor : AW Wibowo
Artikel Terkait