SOLO, iNewsSleman.id – Sektor tekstil di Indonesia semakin terpuruk menyusul pemberlakuan Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Sistem perekonomian di tanah air dinilai gagal memproteksi pelaku dan pasar di dalam negeri.
“Yang terjadi saat ini bukan sekedar dumping, tetapi sudah predatory pricing karena sesuatu yang tidak sehat,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Lilik Setiawan di Kampus AK-Tekstil Solo, Selasa (25/6/2024).
Dirinya menduga ada kekuatan perekonomian di pasar yang berusaha menciptakan sebuah sistem monopoli dengan mematikan sistem yang lain. Predatory pricing semestinya tidak diterima karena ujungnya akan mematikan industri besar hingga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Jika UMKM sudah terdampak, maka efeknya sudah masif dan tidak hanya terbatas pada industri. Sebab pelaku perekonomian di Indonesia 95 persen masih di UMKM level. Banyak faktor yang mengakibatkan predatory pricing, di antaranya ketika terjadi Covid-19 hingga selesai, tiba-tiba muncul situasi geopolitik yang sangat merugikan karena dipicu perang antara Rusia dan Ukraina yang sampai sekarang belum selesai.
“Ini membuat gejolak dalam perekonomian yang sangat merugikan. Kondisi diperparah dengan pergeseran market prioritas untuk spending,” ucapnya.
Masyarakat Eropa yang selama ini menjadi target pasar, lanjutnya, juga melakukan pergeseran prioritas. Indonesia bukan satu satunya negara produsen dan pengekspor tekstil di dunia. Negara di Indocina berkembang sangat pesat industri tekstilnya. Saat ini, pertumbuhan industri tekstil berkembang pesat di Vietnam, Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Begitu pula di India, Pakistan dan Bangladesh. Walaupun mereka menjadi anggota WTO, namun sistem untuk melindungi industri dan pasar dalam negeri sangat bagus. Sehingga ekonomi dalam negeri tetap bergerak.
Pasar negara-negara tersebut dengan Indonesia tak jauh berbeda, yakni Eropa, Amerika, Kanada, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Pada saat yang sama, predatory pricing juga terjadi karena semua negara produsen dan pengekspor tekstil juga mengalami kesulitan mendapatkan pasar.
Pada saat itu, semua mencari pasar yang besar dan salah satu populasi terbesar keempat dunia adalah Indonesia. Sehingga pasar Indonesia menjadi kekuatan ekonomi yang menarik. Indonesia dibidik karena tidak memiliki sistem pengamanan domestik market dan domestik industri yang bagus.
Dia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum pernah tumbuh karena ekspor. Namun pertumbuhan ekonomi muncul karena konsumsi dalam negeri.
“Market yang 270 juta inilah yang membuat Indonesia masuk negara G20. Kalau kita tidak melindungi market ini dan semua pintu gerbang dibuka, siap-siap akan terjadi bencana besar,” tuturnya.
Industri tekstil kemungkinan akan menjadi korban pertama karena menjadi jejaring pengaman sosial. Sebab industri tekstil menyerap 43 persen dari total tenaga kerja di sektor industri.
Jika industri ini kolaps, industri berikutnya yang akan terpukul adalah industri makanan minuman, otomotif beserta turunannya. Pihaknya berharap persoalan ini dipikirkan secara holistik dan tidak parsial.
Sektor industri tekstil sempat mendapatkan angin segar dengan munculnya Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Namun aturan itu hanya berlaku 2 bulan mengingat setelah itu disusul dengan munculnya Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Selama 2 bulan diterapkannya Permendag Nomor 36 Tahun 2023, terjadi peningkatan ekspor. Akibat inkonsistensi ini, pasar langsung habis lagi.
Permendag Nomor 8 Tahun 2024 menyederhanakan proses persyaratan untuk pelepasan kontainer dengan pengubahan persyaratan menjadi hanya laporan surveyor yang berlaku sejak 17 Mei 2024. Dengan demikian, ribuan kontainer yang tertahan di Pelabuhan tanjuk Priok dan Tanjung Perak segera dirilis.
Dia mengungkapkan, ada cita-cita Indonesia Incoporated sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, sampai kini belum berhasil karena persepsi setiap lembaga kementerian bukan merupakan persepsi yang utuh, namun hanya parsial.
Editor : AW Wibowo