Namun demikian, diakui masih ada kekurangan terkait hal tersebut, yakni investasi yang cukup besar dan tranformasi sumber daya manusia tenaga terampil. Melalui program Koneksi, UNS mendorong agar persoalan itu dapat dicarikan solusi bersama.
Setelah memahami persoalan, lanjutnya, UNS merekomendasikan melakukan elektrifikasi sekaligus dikembangkan dalam konteks ekonomi hijau karena persoalannya adalah biaya.
“Ekonomi hijau adalah membangkitkan seluruh yang mungkin, power yang dipakai nanti berasal dari energi terbarukan. Misalkan memaksimalkan PLTSA Putri Cempo yang kini kapasitasnya 5 Megawatt baru dipakai 1 Megawatt,” ucapnya.
Dengan memakai energi terbarukan, muncul dibutuhkannya tenaga kerja baru, masuknya pertumbuhan ekonomi dengan ekonomi hijau. Sehingga bus listrik menjadi bagian dari solusi agar permintaan listrik naik dan disuplai dengan energi terbarukan. Dengan demikian, energi terbarukan memiliki peran membangkitkan ekonomi.
“Matahari murah di Indonesia, itu menjadi titik kunci solusi,” tuturnya.
Chair & Co-founder NEVCE Mr Toby Roxburgh, MIEAust menggarisbawahi tiga sudut pandang utama revolusi elektrifikasi, yakni manfaat bagi manusia (kualitas hidup), lingkungan dan biaya. Dia mengemukakan bahwa sebelumnya listrik dihasilkan dengan polusi dan biaya tinggi. Tetapi kini tenaga surya dan baterai menawarkan solusi yang lebih jauh terjangkau, dan Indonesia memiliki tenaga surya yang melimpah.
“Mengapa dimulai dari bus listrik?, bus memiliki rute tetap yang memudahkan pengembangan jaringan baterai surya untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara,” kata Toby Roxburgh.
Selain itu, bus mendukung pengurangan kemacetan, meningkatkan inklusi sosial dan memberikan manfaat bagi semua kalangan. Namun tantangannya adalah membuat bus menarik agar masyarakat lebih memilih transportasi umum daripada membeli kendaraan listrik pribadi.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait