Sambut Ramadan, UMS Gelar Kajian Tarjih dan Diskusi Interaktif

AW Wibowo
UMS menggelar Kajian Tarjih bertajuk Tarhib Ramadan dalam rangka menyambut Bulan Ramadan 1446 H. Foto: Ist.

Merujuk pada kitab fiqh yang telah dirumuskan pada Majelis Tajdid, Kabid Pengalaman AIK dan Kaderisasi Pondok Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS itu menerangkan bahwa puasa dilihat dari 2 pendekatan. 

Pertama, puasa dari segi etimologi yang berarti menahan dari segala sesuatu dan meninggalkannya. Kedua, puasa dari segi syariat Islam adalah menahan diri dari makan, minum, dan jima’ (bersetubuh antara suami dan istri) disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Berdasarkan hadits nabi yang ditakhrij oleh Bukhari dalam kitabul iman, yang berbunyi “dari Umar, Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung apa yang diniatkan.” Maka Yayuli menerangkan di Muhammadiyah mentradisikan untuk memurnikan niat dan niat tempatnya ada di hati, bukan di mulut.

Ia menjelaskan, sesuai dengan hadis Nabi SAW, bahwa puasa dimulai pada 1 Ramadan dan berakhir pada akhir Ramadan, yakni 29 atau 30 hari, tergantung pada kondisi bulan. 

Maka dari itu umat Islam wajib mengetahui awal bulan Ramadan dengan dasar sesuai dengan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-23 Tahun 2003 di Padang, yang berbunyi “Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan ruqyah yang dijadikan sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.”

Dalam kajian rutin selasa pagi, Yayuli juga menerangkan dasar kewajiban berpuasa Ramadan yang tertera dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Hal menarik terjadi saat sesi tanya jawab, salah satu peserta kajian, Muhammad Israfil dari Ponorogo, Jawa Timur, mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung. Pertanyaan pertama tentang hubungan suami istri saat bulan puasa. 

Ia menanyakan apakah seseorang yang telah melakukan hal tersebut, meskipun sah menurut agama dan negara, tetap wajib membayar kafarat setelah mengetahui ketentuan hukumnya, jika sebelumnya tidak memahami aturan tersebut.

Editor : AW Wibowo

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network