Kasus Mega Korupsi Bermuculan, Pakar Hukum UMS Desak RUU Perampasan Aset Segera Disahkan

AW Wibowo
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H. Foto: Ist.

SOLO, iNewsSleman.id – Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H., menegaskan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dengan adanya kasus dugaan mega korupsi di tubuh Pertamina maupun kasus timah, diharapkan membuka mata DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU tersebut. 

“Dua kasus terakhir yang sangat besar ini (Pertamina dan Timah) harusnya membuka mata DPR, membuka mata pemerintah untuk lebih serius melakukan upaya-upaya yang memungkinkan bahwa orang yang melakukan korupsi bisa disita asetnya. Sehingga bisa menutup kerugian negara akibat korupsi. Nah mekanisme itu dengan UU Perampasan Aset,” kata Muchamad Iksan melalui keterangan pers Humas UMS yang dikutip, Minggu (2/3/2025). 

Banyak dalam kasus korupsi, ganti rugi dan denda itu tidak bisa dibayarkan oleh para terpidana. Iksan menyebut, terpidana tidak bisa membayar ganti rugi karena yang disita oleh penyidik dan penuntut umum itu tidak mencukupi terhadap besarnya ganti rugi yang harus dibayar. 

Terkait dengan hal tersebut, maka kemudian muncul gagasan pemiskinan koruptor. Akan tetapi konsep pemiskinan koruptor sampai saat ini belum dimasukkan ke dalam undang-undang. 

“Kalau dia sudah dipidana dan pidananya berupa pembayaran ganti kerugian maupun denda, ini sebenarnya bisa juga dipaksa untuk membayar dari aset-aset yang bisa diketahui,” tutur Dosen Fakultas Hukum (FH) UMS tersebut. 

Penyidik, baik itu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun penyidik kejaksaan itu mestinya harus mengetahui, harus ngulik semaksimal mungkin harta yang dimiliki oleh pelaku itu apa. 

Fakta di lapangan saat ini, pada tahapan penyidikan aset tidak bisa disita apabila tidak ada kaitannya dengan hasil korupsi. Hanya saja Iksan berharap, penyidik setidaknya mengetahui aset milik tersangka korupsi. 

Sehingga ketika terdakwa dijatuhi pidana, pidananya kecuali hukuman badan (penjara), terpidana harus membayar ganti rugi kepada negara. Pada momen ini, jaksa seharusnya sudah memiliki informasi terkait dengan aset-aset atau kekayaan koruptor karena untuk membayar kerugian tidak harus dari hasil korupsi. 

Editor : AW Wibowo

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network