YOGYAKARTA, iNewsSleman.id - Jasmerah atau Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah barangkali akan menjadi ungkapan yang tepat untuk selalu diingat oleh setiap anak bangsa.
Salah satunya mengenai kisah HOS Tjokroaminoto seorang Guru Bangsa yang menjadi guru sekaligus mengajarkan politik kepada pendiri bangsa, Soekarno.
Hal itu disampaikan Ketua Gerakan Jalan Lurus (GJL) Riyanta yang juga Anggota Komisi II DPR RI di Yogyakarta, Kamis (27/4/2023).
Riyanta menyebutkan generasi muda harus melek politik. Menurutnya menjelang tahun politik menjadi momentum semua anak bangsa kembali mengingat bagaimana perjuangan politik para bapak pendiri bangsa di momen menuju kemerdekaan.
"Ingatlah sejarah bangsa sendiri. Kisah mengenai Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokro Aminoto, seorang guru bangsa, yang mengajarkan kepada Soekarno, Presiden RI Pertama," jelasnya.
Riyanta msnyebutkan menurut sejarah HOS Tjokroaminoto adalah Pendiri Sarekat Islam. Beliau mengajarkan kebebasan berfikir, menggunakan nalar.
"Dari HOS Tjokroaminoto kita mendapat pesan bahwa karena semua ideologi itu hanyalah alat propaganda politik dan alat untuk konsilidasi emosional. Karena ideologi hanya alat maka baik dan buruk tergantung digunakan oleh siapa (kwalitas pendidikan, wawasan pengetahuan, budi pekerti) dan untuk apa, kepada siapa (juga ragam kwalitasnya)," tambah Riyanta.
Riyanta juga menambahkan, jika dari sejarah disebutkan, saat itu oleh Belgia, HOS Tjokroaminoto dijuluki sebagai De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota".
Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia.
Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu.
Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Ananda Hirdan, Imran Halomoan, bahkan Fajri Hamonangan pernah berguru padanya.
Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun 17 Desember 1934 , lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/ komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin.
Soekarno yang nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi.
Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso.
Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948.
Pemberontakan kemudian dilakukan oleh Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh SM. Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 12 September 1962.
Bagi Riyanta, apa yang menjadi perjuangan Sarekat Islam sebagai organisasi hanyalah wadah pendidikan, cara berfikir intlektual dan sekaligus organisasi sebagai alat perjuangan.
"Dalam perkembangan anggota Sarekat Islam landasan berfikirnya tergantung dari latar belakang referensi, wawasan siswa maka ada 3 aliran Sarekat Islam (S.I) yaitu; SI Putih, SI Merah & SI Hijau. Dimana SI Merah dengan tokoh-tokohnya diantarnaya Alimin, Tan Malaka, KH.Misbach, Muso, dll. Untuk SI Putih yakni ada tokoh KH.Agus Salim dkk, sementara SI Hijau dengan tokoh Kartosuwiryo. SI Merah inilah yg berubah jadi ISDV yang kemudian menjadi PKI. SI Putih berubah menjadi Masyumi. SI Hijau jadi DI/TII - NII. Semua itu terjadi di rumah H.O.S Cokroaminoto di Surabaya," jelasnya.
Sementara Kusno alias Bung Karno itu sebagai salah satu murid kesayangan dari Cokroaminoto. Bung Karno sebagai anggota SI nantinya membuat partai yg bernama PNI (Partai Nasionalis Indonesia).
Dikutip dari wikipedia Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto (16 Agustus 1882-17 Desember 1934), lebih dikenal di Indonesia sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, adalah seorang nasionalis Indonesia yang menjadi pemimpin Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi, yang menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama RM. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu.
Kakeknya, RM. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo, Mertuanya adalah R.M. Mangoensoemo yang merupakan wakil bupati Ponorogo. Beliau adalah keturunan langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo.
Setelah lulus dari sekolah rendah, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtrnaren (OSVIA) di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi.
Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.
Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
"Dari kisah HOS Tjokroaminoto itu kita belajar tentang sejarah. Gerakan Jalan Lurus berkomitmen akan meneruskan cita cita guru bangsa HOS Tjokroaminoto," pungkas Riyanta.
Editor : Bayu Arsita
Artikel Terkait