Dikatakannya, karkas adalah setelah dipotong kepala, kaki, jeroan, dan kulit, daging domba akan dihitung untuk dikirim ke luar negeri. Jika masih berkutat di dalam negeri, kualitas domba yang dihasilkan peternak akan terus kalah bersaing.
Untuk itu, salah satu solusinya adalah meningkatkan bobot domba, pakan dan kesehatan domba, obat, vitamin, penanganan penyakit, hingga manajemen yang bagus. Dengan demikian, akan mendorong domba para peternak menjadi berkualitas.
Dengan kualitas mulai dari bibit yang bagus, maka otomatis selama 11 bulan menunggu sampai panen, domba yang dihasilkan tubuhnya besar dan dagingnya lebih mahal. Sehingga, indeks pembangunan manusia naik (IPM) di daerah naik, dan masyarakat lebih sejahtera.
“Kalau jual domba lokal yang kecil kan nggak seberapa duitnya. Harga murah per kg, tukang sate hanya butuh yang beratnya 25-30 kg. Tapi kalau ekspor kan sekitar 40 kg. Nah itu semangat untuk mendorong ke sana harus kompak,” tutur pria yang menjadi anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan tersebut.
Selain itu, impor daging juga harus ditahan agar jangan sampai melukai hati para peternak mengingat mereka juga harus menjaga kualitas pendapatannya.
Dikatakannya, UMS harus turut berperan dalam bidang ketahanan pangan. UMS bisa melakukan riset tentang ketahanan pangan dengan basis bertumbuhnya peternak di seluruh Indonesia. Dirinya melalui IKA UMS Riset, mendorong UMS agar lebih peduli untuk pertumbuhan ekonomi, salah satunya pengembangan SDM, terutama peternak muda melalui riset-riset dari UMS.
Mengenai suplai daging domba dan kambing di dalam negeri, Aditya Warman mengaku tidak memiliki data. Namun yang jelas, suplai masih sangat kurang sehingga peternak memiliki kesempatan yang sangat besar untuk memenuhi konsumsi di dalam negeri.
Editor : AW Wibowo
Artikel Terkait