YOGYAKARTA, iNewsSleman.id - Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati yang hari kelahiran Pancasila yang juga ditetapkan sebagai hari libur nasional peringatan Hari Lahir Pancasila sejak tahun 2016. Penetapan hari libur nasional peringatan Hari Lahir Pancasila ini sesuai dengan Keputusan Presiden RI No 24 Tahun 2016.
Menurut Ketum Gerakan Jalan Lurus (GJL) Riyanta SH, Hari Lahir Pancasila ditetapkan setiap tanggal 1 Juni yang ditandai oleh pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pidato ini mengemukakan konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
Riyanta menegaskan, sejarah Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 tersebut menyiratkan bahwa para pendiri bangsa telah meletakkan pondasi (dasar) yang kuat berupa kesepakatan bersama bagaimana menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Ingatlah sejarah, para pendiri bangsa telah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara kita. Itu mencerminkan nilai nilai luhur budaya kita sebagai bangsa besar yang mempersatukan kita semua dari Sabang sampai Merauke, dengan keberagaman baik suku, agama maupun budaya," ujar Riyanta.
Berdasarkan sejarah, Riyanta juga menyampaikan bahwa pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang maha penting di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang diketuai oleh dr. KRT. Radjiman Wedyoningrat.
Pidato Bung Karno yang cukup panjang, penuh semangat berapi-api bukanlah pidato tertulis, melainkan secara langsung disampaikan dengan tutur sistematis, konseptual, spontan dan cermat. Pidato Bung Karno menguraikan lima prinsip dasar Indonesia merdeka yang disebut Pancasila.
Kini di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pada 1 Juni 2016 terbit Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila yang menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.
Sebelumnya, pada tanggal 10 September 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menetapkan tanggal 18 Agastus 1945 sebagai Hari Konstitusi melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi Republik Indonesia.
Berdasarkan Keppres No.24/2016 tersebut 1 Juni dijadikan hari libur nasional serta diperingati oleh pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang amat tepat terutama dalam hal pelurusan sejarah kelahiran Pancasila.
Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara (huruf e pada konsideran Menimbang pada Keppres 24/2016).
Riyanta menambahkan jika kini saatnya bagi kita sebagai generasi penerus untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan real di masyarakat.
"Dimensi paling kecil adalah keluarga. Kita ingin anak cucu kita bisa terus mengingat sejarah lahirnya Pancasila," tambahnya.
"Dengan perilaku yang mencerminkan Nilai-Nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam keluarga, sehingga akan bisa dirasakan dan dilihat oleh anak cucu kita. Salah satunya mengajarkan Tumindak sing Becik (bertindak yang baik) di lingkup yang didasarkan aspek sila-sila dalam Pancasila, " jelas Riyanta.
Keluarga harus menghadirkan nilai-nilai yang bisa dirasakan melalui Panca Indera, bukan hal yang mengawang-awang.
"Pancasila bisa diejawantahkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita berikan contoh dengan perilaku orang tua agar anak-anak kita paham bahwa ada norma, ada nilai yang bisa dijadikan tuntunan buat kehidupan. Ya... Dari sila pertama hingga kelima, bisa menjadi koridor tindakan yang baik bagi keluarga. Itu penting dan mendasar!," jelas Riyanta.
Bagi Anggota DPR RI Komisi II tersebut Nilai-nilai Pancasila sangat penting diterapkan dalam kehidupan karena Pancasila telah menjadi acuan bersama tidak hanya bagi bangsa Indonesia, namun bangsa-bangsa lain di dunia global.
"Saat ini global menggandrungi Ideologi Pancasila, setelah melihat sistem liberal diyakini tidak banyak membawa manfaat bersama negara negara di bumi ini. Bahkan negara negara Timur Tengah nyata nyata kagum dengan Pancasila, ditimur tengah mayoritas muslim tetapi tidak pernah ada kedamaian, justru Indonesia dengan perbedaan yang begitu banyaknya mampu disatukan dengan Pancasila," ujar Riyanta.
Riyanta juga menyebutkan, dalam sejarah saat itu, Ketua BPUPK dr. Radjiman Wedyoningrat membentuk Panitia Kecil berjumlah delapan orang yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh. Yamin, dan A.A. Maramis.
Panitia 8 yang dipimpin oleh Bung Karno dengan tugas merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang bahan baku utamanya berdasarkan pidato yang disampaikan Bung Karno yang telah diterima secara aklamasi oleh segenap anggota BPUPK.
Di tengah masa reses Bung Karno berinisiatif membentuk panitia kecil yang berjumlah sembilan (9) orang yang juga dipimpin oleh Bung Karno. Perubahan panitia 8 menjadi panitia 9 tersebut didasarkan atas penghormatan dan niat baik Bung Karno untuk menjaga keseimbangan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Dalam Panitia 8, komposisi yang mewakili golongan Islam hanya 2 orang, Wahid Hasyim dan Ki. Bagus Hadikusumo dan golongan kebangsaan 6 orang, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh. Yamin, dan A.A. Maramis.
Sementara, dalam Panitia 9 yang dibentuk atas inisiatif dan sebagai Ketua Bung Karno, komposisi keanggotaanya sudah disusun secara proporsional, dimana golongan Kebangsaan berjumlah 5 orang, Ir. Soekarno (sebagai ketua), Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, dan golongan Islam 4 orang, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Panitia 9 inilah yang menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta adalah naskah rancangan Pembukaan UUD yang di dalamnya memuat sila-sila Pancasila dan di belakang sila Ketuhanan terdapat 7 kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Terjadi konsensus nasional dalam perumusan naskah final UUD oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Bung Karno pada 18 Agustus 1945. Atas peran Mohammad Hatta seperti dalam pengakuannya dalam otobiografinya yang berjudul Memoir Mohammad Hatta. Pada pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta meloby tokoh-tokoh Islam agar bersedia mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Akhirnya 7 kata di belakang sila Ketuhanan tersebut berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada akhirnya sila-sila Pancasila menjadi seperti yang sekarang kita sepakati bersama. Perubahan tersebut terjadi atas kesepakatan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Para alim ulama, tokoh Islam, dan pemimpin-pemimpin Islam yang mendirikan bangsa Indonesia menyetujui perubahan dari tujuh kata itu sebagai ijtihad dan persetujuan para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya demi kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Dengan disepakatinya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, maka negara Indonesia adalah bukan negara agama (atau negara satu agama) tetapi juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Pancasila adalah titik temu, jembatan berbagai aliran politik untuk menjadi negara bangsa. Upaya-upaya merong-rong ideologi Pancasila yang hendak mengganti dengan ideologi lain hendaknya membawa kita untuk merefleksikan sejarah kegagalan bangsa-bangsa lain mempertahankan negaranya," imbuh Riyanta.
Editor : Bayu Arsita
Artikel Terkait