Pada saat itu, semua mencari pasar yang besar dan salah satu populasi terbesar keempat dunia adalah Indonesia. Sehingga pasar Indonesia menjadi kekuatan ekonomi yang menarik. Indonesia dibidik karena tidak memiliki sistem pengamanan domestik market dan domestik industri yang bagus.
Dia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum pernah tumbuh karena ekspor. Namun pertumbuhan ekonomi muncul karena konsumsi dalam negeri.
“Market yang 270 juta inilah yang membuat Indonesia masuk negara G20. Kalau kita tidak melindungi market ini dan semua pintu gerbang dibuka, siap-siap akan terjadi bencana besar,” tuturnya.
Industri tekstil kemungkinan akan menjadi korban pertama karena menjadi jejaring pengaman sosial. Sebab industri tekstil menyerap 43 persen dari total tenaga kerja di sektor industri.
Jika industri ini kolaps, industri berikutnya yang akan terpukul adalah industri makanan minuman, otomotif beserta turunannya. Pihaknya berharap persoalan ini dipikirkan secara holistik dan tidak parsial.
Sektor industri tekstil sempat mendapatkan angin segar dengan munculnya Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Namun aturan itu hanya berlaku 2 bulan mengingat setelah itu disusul dengan munculnya Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Selama 2 bulan diterapkannya Permendag Nomor 36 Tahun 2023, terjadi peningkatan ekspor. Akibat inkonsistensi ini, pasar langsung habis lagi.
Permendag Nomor 8 Tahun 2024 menyederhanakan proses persyaratan untuk pelepasan kontainer dengan pengubahan persyaratan menjadi hanya laporan surveyor yang berlaku sejak 17 Mei 2024. Dengan demikian, ribuan kontainer yang tertahan di Pelabuhan tanjuk Priok dan Tanjung Perak segera dirilis.
Dia mengungkapkan, ada cita-cita Indonesia Incoporated sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja, sampai kini belum berhasil karena persepsi setiap lembaga kementerian bukan merupakan persepsi yang utuh, namun hanya parsial.
Editor : AW Wibowo